Translate
Sabtu, 30 Januari 2016
Senin, 06.30 WIB
Seperti kebiasanmu setiap senin pagi, perempuan dengan jilbab panjang dan kacamata minus. Aku tahu kacamata itu benar-benar kacamata minus. Bukan kacamata gaya meski nampak demikian. Seperti punyaku. Kami sahabat dekat kacamata punya keistemewaan khusus dalam membedakan mana kacamata gaya, mana kacamata minus. Dan sahabat dekat adalah julukan orang-orang yang memiliki ketergantungan tinggi dengan keberadaaan kacamata. Tapi cerita pagi ini bukan tentang sahabatku, si kacamata. Cerita ini tentangnya. "Assalamua'alaikum.." suara itu terdengar sangat janggal di telinga penumpang lain. Sangat aneh. Dan memang aneh. Aku pun berpikiran yang sama saat pertama kali mendengarnya. Banyak dari mereka yang meski beragama Islam dan mengetahui bagaimana menjawab salam seharusnya, justru memilih mengeryitkan dahi. Bingung. Tapi tidak lagi bagiku. Suara itu. Suaramu. Sudah terdengar sangat familiar. Dan mungkin hanya aku dan satu atau dua penumpang lain yang spontan menjawab salammu. Meski tidak dengan suara lantang seperti suaramu. Lantang, berenergi dan dengan seyum ramah khasmu.
06.30. Terkadang lebih, terkadang kurang. Tapi tidak pernah terlampau jauh dari jadwalmu menaiki bus urutan ke-tiga di terminal. Pagi ini kau pun memilih duduk di tempat favoritmu, tepatnya sebelum bangku terakhir di sisi kiri bus, persis di sebelah jalan setapak tempat penumpang berlalu-lalang. Bus memang masih terbilang sepi. Masih tersedia banyak pilihan tempat.
Bus jurusan Rambutan-Lebak Bulus ini sejatinya hampir selalu padat. Kenek dan supir akan tetap mencari penumpang walau seluruh bangku telah terisi penuh. Meski setiap penumpang dikenakan tarif yang sama, tidak masalah bagi yang butuh segera sampai tempat tujuan berlama-lama berdiri berhimpitan di dalam bis untuk tetap membayar ongkos. Namun tidak demikian pada hari ini, faktor cuaca yang kurang mendukung menyebabkan bus hanya dipenuhi oleh penumpang yang duduk. Selalu sama di setiap minggunya, menikmati posisi favoritmu disana. Membuatku semakin penasaran. Perjalanan menuju kantorku lagi-lagi dipenuhi oleh pertanyaan 'Apa yang berbeda dari bangku itu dengan bangku yang lain di dalam bus ini?'.
Aku Akbar, seorang karyawan outsourcing di sebuah perusahaan marketing di daerah Pondok Indah. Belum diangkat menjadi karyawan tetap, karena baru 3 bulan bekerja. Gaji harian yang kuterima masih sangat minim untuk memenuhi cita-citaku bertanggung jawab atas seluruh biaya hidup kedua orangtuaku. Baru mencukupi untuk biaya kuliah adikku dan transportasi dari rumah ke kantor. Selebihnya biaya makan sehari-hari dan keperluan rumah tangga seperti listrik, telepon, dan lainnya masih menjadi tanggungan bersama. Aku dan orangtuaku bergiliran melunasinya. Siapa saja. Kadang aku, kadang pula orangtuaku. Aku memilih tetap tinggal di rumah dan tidak ngekost karena permintaan ibu. Ibuku tidak membolehkan kedua anaknya ngekost. Maka transportasi bus kota menjadi santapan harianku sejak mendapat gelar sarjana Ekonomi dan diterima di perusahaan tempatku bekerja sekarang.
Kembali aku akan bercerita tentangnya. Semilir angin dan suasana mendung pagi ini sepertinya membuat matamu berat tak tertahankan. Kau mulai menutup mata perlahan, sambil sesekali membukanya pertanda belum lelap. Namun macet yang panjang membuat matamu sungguh tidak bisa diajak kompromi, kau pun tertidur. Pulas.
Entah apa yang dikerjakan olehmu semalam. Kau begitu lelap dalam tidurmu, tidak terganggu oleh deru suara bus dan kendaraan lain. Rasa kantuk seolah mengalahkan semua kemungkinan yang dapat membangunkanmu, tidak sadar bahwa kepalamu sudah berkali-kali terhuyung ke segala arah membuat risih penumpang di dekatmu. Lama kelamaan gerakan kepalamu semakin stabil, hanya berulang kali mengangguk-angguk seperti isyarat setuju pada sebuah sidang pleno. Sudah hampir sejam tertidur, tak ada yang tahu sudah sejauh mana mimpi membawamu pergi, tak satu pun membangunkan tidur lelapmu. Perjalanan sekitar 45 menit lagi hingga sampai ke tujuan terakhir. Lumayan, masih banyak waktu untuk melanjutkan tidur. Aku selalu heran denganmu. Tak banyak kutemui muslimah yang memiliki sikap se-cuek kamu. Bahkan tidak pernah. Ya, tak pernah kutemui muslimah yang memberi salam di bus tanpa gengsi, lalu tidur dengan pulas selain kamu.
"Brukkk..." kau terhuyung hebat, mendaratkan kepala tepat di bangku besi di hadapanmu. Miris sekali.
Sontak kau terbangun dari mimpi yang entah sejauh mana telah membawamu. Dengan wajah pucat kau memandang sekeliling. Mencari tahu kalau saja ada oranglain yang memperhatikan. Semburat rona merah jelas sekali nampak pada wajahmu. Kau terbangun. Nampak tidak berniat melanjutkan kembali tidurmu. Setiap orang di bus sibuk dengan kegiatan masing-masing. Memainkan telepon genggam. Mengobrol dengan teman sebelah. Sibuk melamun dan tenggelam pada hayalan yang entah menghayalkan tempat tujuan atau rumah yang ditinggalkan. Bahkan ada pula yang masih sibuk tidur, sama sepertimu sebelum terbangun.
"Ah..aman" hela nafas dan matamu menyisaratkan demikian.
Tapi sepertinya kau masih penasaran. Menolehkan kepala ke kiri lalu ke kanan, pelan-pelan memastikan bahwa tak ada seorang pun yang melihat kepalamu terantuk bangku bis dengan sangat konyol. Namun tepat saat itu, saat pandangan matamu mencari satu sosok yang entah siapa bagimu. Tepat saat sinar matamu yang memantul melalui kacamata nanar mencari seseorang yang sejak tadi memperhatikan. Saat pandangan itu tepat jatuh tertuju pada posisiku. Saat itu juga, aku bangkit dari dudukku yang persis di sebelah satu bangku di belakangmu. Hanya satu bangku jarakku bisa bersebelahan denganmu. Tapi bagiku ini tempat terbaik. Tempat yang paling pas untuk memperhatikanmu dengan baik tanpa diketahui. Aku bangkit dari tempatku duduk lalu berjalan ke arah kenek. Membayar ongkos. Meminta disampaikan pada supir untuk segera diturunkan.
Aku pun turun dari bis, meninggalkanmu bersama kebingungan.
***
"Maafkan aku yang meninggalkanmu kala itu. Tapi tahukah kau? Setelah hari itu. Setiap harinya, harapan itu tega sekali berteriak meraung menagihku untuk bertemu lagi denganmu. Sekedar memperhatikanmu di balik persembunyian atau bahkan menjelaskan semua peristiwa sederhana yang membuat tidurku tak lagi nyenyak, dihantui bayangmu. Dan di hari yang sangat berbahagia ini, aku berterima kasih pada Allah atas rencanaNya yang maha indah. Mempertemukanku denganmu. Dengan penumpang bus yang sama setiap minggunya. Setiap senin, 06.30 WIB. Selama 5 tahun terakhir" dengan senyum aku berbisik mengakhiri lamunanku diatas pelaminan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar