Translate

Jumat, 22 Januari 2016

Gara-gara Deadline

Hari ini hari sabtu. Hari terakhir dari jadwal aktif sekolahku, sekaligus hari yang paling kutunggu-tunggu. Senang sekali rasanya berjumpa dengan hari favorit mingguan. Hari yang selalu jadi hari paling menjenuhkan bagi sebagian besar siswa lain yang ingin segera usai dan menikmati malam minggu bebas tanpa tugas. Tapi tidak denganku, hari dengan intensitas jam pelajaran paling sedikit yang diawali dengan senam pagi bersama, serta ditutup dengan pelajaran kegemaran sepanjang minggu yaitu ekstrakurikuler, selalu membuatku betah tinggal berlama-lama di sekolah. Namaku Niken, Niken Pudjisastrowidoyo. Saat ini aku duduk di kelas 4 sekolah dasar. Aku bercerita tentang hari sabtuku karena aku hanya menyukai hari ini selama aku menjadi siswi sekolah dasar, hari tanpa pelajaran menghitung dan menghafal. Seperti mata pelajaran kebanyakan yang ada di kurikulum sekolah, setiap siswa dituntut untuk cepat menghafal dan pandai menghitung dengan cermat. Dan aku adalah salah satu siswa yang sangat lemah dalam 2 hal tersebut, maka tak jarang rapotku mendapat teguran karena kebanyakan nilai bertinta merah. Ibuku adalah orang yang paling rewel pada warna merah di rapotku. Padahal apa salahnya warna merah? pertanyaan yang hanya selalu berani terlintas dalam hati. Berbeda dengan ayah, sosok yang selalu mendukung apapun yang sudah atau ingin aku lakukan, terlebih pada bakatku menulis ayah selalu saja bangga akan bakatku yang satu ini. Mungkin sebab itu, ayah memberiku nama Niken Pudjisastrowidoyo. Niken yang sastranya akan dipuji. Dan aku selalu berharap do'a ayah benar-benar sampai padaku. Di sekolah aku mengambil ekstrakurikuler yang dekat sekali dengan bakatku, "journalist club". Di klub ini kami dibimbing tentang bagaimana menulis dengan baik sehingga pembaca menyukai tulisan kita, lalu kami akan menulis apapun yang ditugaskan oleh salah seorang guru lulusan sastra yang membimbing klub kami, Bu Cahya. Menulis artikel, berita, puisi maupun menulis cerpen. Dan semua tugas dikerjakan dengan sukarela. Hari ini Bu Cahya masuk ke kelas jurnalis dengan wajah bersemangat. Entah apa tugas darinya hari ini pun ikut membuatku bersemangat. "Selamat siang, anak-anak!" suara lantangnya membangkitkan gairah menulisku. Senyum hangat dan semangatnya hari ini, membuat hatiku bertanya penuh selidik. Ada Apa gerangan? "Anak-anak karena tugas kalian yang minggu lalu sudah ibu periksa, dan ibu tau kalian mengerjakannya dengan baik maka hari ini ibu mau memberikan sebuah kabar gembira" "waaah.." suara koor teman-teman memecah rasa penasaranku. "Ibu akan memberikan kalian tugas yang dikumpulkan 3 minggu dari sekarang" "Asyiikk" tak kuasa aku pun ikut membaur merasakan atmosfer kebahagian di tengah teman-teman menulisku. "Kalian masing-masing akan diberi tugas membuat mini mading" "Horeeeee!!!" teriakan kompak kami terdengar sangat bahagia. "Wah mading..untuk tugas kali ini aku harus menjadi yang terbaik, aku akan mengisi madingku dengan semua tulisan terbaikku puisi, artikel....." teriakan kompak barusan langsung saja membuatku tenggelam dalam khayalanku sendiri. "Mading dalam satu karton, kalian boleh milih design dan warna karton yang kalian suka, serta mengisinya dengan tulisan-tulisan terbaik kalian. Tugas ini menjadi tugas yang akan sangat berpengaruh pada nilai ekstrakurikuler kalian di rapot nanti. Tapi ingat ya anak-anak, penilaian bukan hanya isi mading tapi juga penampilan mading, kalian boleh menambah hiasan apapun pada mading kalian, maka lakukan sebaik-baiknya ya anak-anak!" pengumuman tugas terdengar sayup-sayup di telingaku. Apa yang tadi bu Cahya bilang ya? Hmm entahlah, bisa kutanya temanku nanti. Lagi-lagi aku hanyut dalam khayalan tentang apa yang akan aku akan lakukan pada madingku. Hingga akhirnya tak terasa pelajaran menyenangkan pun harus rela berpisah denganku, setiap sesuatu yang menyenangkan memang selalu terasa cepat sekali berakhir. Tiba di rumah, jangtungku berdegup tak karuan ingin segera merampungkan tugas yang deadlinenya masih 3 minggu yang akan datang dengan nilai terbaik. "Aku harus segera menyiapkan tulisan-tulisannya dari sekarang, agar mendapat nilai terbaik yang bisa ku banggakan pada ayah nanti" tekadku bulat sambil membuka netbook putih diatas meja belajarku. Malam minggu yang indah kuhabiskan dengan mencari tema artikel terbaik, karena mading yang paling banyak diminati pembaca adalah berisi artikel dengan banyak gambar penjelas. Bersemangat sekali aku menyelesaikan tugas. "Lebih cepat, lebih baik toh?" aku bergumam sendirian, memotivasi diri sendiri. *** 3 minggu berlalu begitu saja, seperti baru kemarin Bu Cahya baru masuk kelasku dan menyampaikan pengumuman tugas. Aku bersiap berangkat ke sekolah dengan semangat yang membara. Tugas sudah selesai ku rampungkan sejak hari pertama, aku membawanya di tas ranselku dengan sangat bangga. Artikel mengenai pantai-pantai terindah di Indonesia yang tidak kalah indah dengan pantai-pantai yang ada di luar negeri, dengan gambar-gambar yang memukau. Puisi singkat tentang liburan, pantun, kuis, serta banyak ensiklopedia mini yang akan ku selipkan diantara tulisan-tulisanku. Semua telah kuketik rapih dan print dengan print berwarna sehingga terlihat sangat cantik. "Aku siap berangkaatt.." aku berteriak sambil berlari kecil keluar keluar rumah, membawa tas ranselku. Pagar sekolah seolah menyambut kedatanganku hangat, mempersilakan sang ratu melewatinya dengan anggun. Kelasku pun terasa berkali lipat lebih harum dari biasannya. Semua hal di pagi ini sungguh membuatku tersenyum bahagia. "Hai Aulia, bagaimana tugasmu sudah?" Aulia yang juga termasuk teman kelas jurnalis mengangguk mantap menjawab pertanyaanku. Aku melihat ia membawa gulungan karton di tangannya pun kembali bertanya, "Untuk apa karton itu Aulia?" "Untuk tugas kita nanti Niken" sambil membawa gulungan karton tersebut dengan santai dan menaruh di dekat bangkunya. "Karton? bukankah kita di suruh membuat mading ya?" "Mini mading di karton yang dihias kan Niken?" pertanyaan meyakinkan darinya mengejutkanku. "Oh, ada apa ini??" aku luput dari tugas yang diberikan Bu Cahya. Bagaimana mungkin? sepertinya ini akibat aku teralu percaya diri dengan kemampuanku, sehingga melalaikan pengumuman tugas. Bagaimana ini? dalam diam dan mencoba untuk tetap tenang aku mengatur napasku perlahan. "Ayo Niken kamu bisa, kamu pasti bisa.." malaikat hatiku mencoba membantu menenangkan. "Menghias dan membuat mini mading dengan deadline waktu 1 jam? mana mungkin?" saat kusadar hanya membawa perlengkapan mading yang siap kutempel di papan mading. "kriiiing....." bel tanda senam pagi terdengar seperti lonceng sangkakala bagiku. "Tidak! aku harus menyelesaikan tugas ini dengan baik bagaimana pun caranya" teman-temanku yang lain sudah sebagian berhamburan di lapangan sekolah berkumpul dengan yang lain, aku tetap tak bergeming dari bangku, berazam untuk menyelesaikan tugas dalam waktu singkat. Oh tidak, bagaimana ini? "Niken, ayo ke lapangan bersamaku" Aulia mengajakku pergi besamanya saat melihat aku tak bergerak juga dari tempatku duduk. "Aku izin pergi ke toilet dulu Aulia, kamu duluan saja nanti aku menyusul" tak terpikir lagi jawaban terbaik, aku memutuskan mencari alasan tidak ikut senam dengan pergi ke toilet. "Baiklah kalo begitu" Aulia pun meninggalkanku sendirian di dalam kelas. Aku pergi ke arah toilet sekolahku, mencari inspirasi cara menyelesaikan tugas secepat mungkin, yang kini bukan lagi soal nilai bagiku. Di samping toilet, terdapat taman belakang sekolah yang selalu terbuka. Dan aku disana saat ini, mencari kemungkinan yang bisa kudapatkan untuk menghias madingku. Mencari apa saja yang sekiranya memungkinkan, karena aku tahu sudah tidak mungkin membelinya. Karena jika aku membelinya, aku butuh waktu untuk keluar pagar, yang itu berarti melewati lapangan besar tempat berkumpulnya guru dan murid yang sedang ikut senam pagi. Menoleh ke pojok taman kudapati tumpukan bekas semen yang isinya sudah hampir habis. Aku mendekatinya dengan ragu. Apa yang akan aku lakukan dengan karung semen ini? karena tak ada yang lain, dan hanya ini yang bisa ku dapatkan dari taman akhirnya aku memutuskan membawanya ke kelas dengan menyembunyikannya di balik punggungku. Bekas karung semen ini sepertinya masih baru, sehingga masih terlihat bersih tapi kondisinya sudah tidak utuh lagi. Sebagian sobek dan sebagian yang lain terlihat lecek. Sudah tingal 30 menit lagi hingga senam berakhir, aku nekat membalikkan karung semen tersebut mengambil bagian utuh yang masih bisa kugunakan dan membuatnya seperti bola kertas, untuk membuat seluruh permukaan karung semen agar terlihat lecek sempurna. Lalu ku buka lipatannya perlahan, takut sekali menyobeknya, merentangkannya di belakang kelas memposisikan karung tersebut seperti karton. aku mengeluarkan lem dan semua bahan yang telah kubawa, menatanya diatas karton. 15 menit sebelum bel berbunyi, tapi aku belum menemukan gunting untuk merapihkan karung semen agar terlihat simetris. Oh tidak, bagaimana ini?? aku panik mencarinya di laci kelas, mengecek seluruh kolong meja, tapi tidak juga kutemukan adanya gunting. Aku kembali ke laci kelas memperhatikan kalau-kalau ada alat lain yang bisa kugunakan untuk merapihkan madingku. Korek, hanya ini yang aku temukan. Dengan terburu aku membawanya ke tempatku membuat mading tadi. Menyalakan korek dan membakar pada ujung-ujung karung agar terlihat simetris lalu meniupnya segera. Terihat gosong pada sebagian ujung karung tapi entah kenapa itu membuatnya terlihat cantik bagiku, hingga ku bakar pula sedikit pada bagian-bagian lain yang belum terkena warna gosong dari api. ku bentangkan diatas meja ku, "bagus juga ya haha" memuji diri untuk menenangkan hati agak melonggarkan kepanikkan. tinggal 5 menit lagi, segera kusapu bekas-bekas bakaran tadi, menghapus segala jejak kecurigaan. "kriiiingg...." bel senam berakhir yang berarti tanda pergantian pelajaran. "Hhhh..." aku menghela napas lega sambil menggulung madingku sebelum teman-teman yang lain masuk. **** "Selamat siang anak-anak..." sapa Bu Cahya dengan senyum cerah di wajahnya. "Bagaimana tugas kalian??" tambahnya penasaran. "Sudah bu guru..." jawab teman-teman klub jurnalis kompak dengan menggenggam gulungannya masing-masing. "Baik, sekarang kalian bentangkan mini mading kalian di lantai" arahan Bu Cahya membuat semua serentak membentangkan mini madingnya di lantai dengan bangga. "Niken, mana punyamu??" tanyanya ketika mengetahui hanya aku yang belum membentangkan mading. "Eee...aa..da koo buu" aku gugup menjawab, takut sekali Bu Cahya menegurku di depan teman-teman. "Mana coba ibu mau lihat?" Dengan terpaksa akhirnya aku membentangkan gulunganku, sambil menunduk malu, "Oh Tuhan, matilah aku!" "Waahh...bagus sekali Niken..." sanyup suara Bu Cahya terdengar di teligaku yang mengkhayalkan apa yang harus kulalukan jika ia menegurku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar